Yogyakarta (ANTARA
News) - Banjir lahar dingin pascaerupsi Gunung Merapi 2010, kemungkinan
merupakan bencana terlama dalam sejarah gunung api di perbatasan wilayah
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Gunung itu meletus pada Oktober 2010, dan timbunan material
vulkaniknya berupa abu, pasir, kerikil dan batu di puncak, lereng, kaki
gunung hingga kawasan sekitarnya, kini menjadi sumber bencana banjir
lahar dingin.
Bencana sekunder dari gunung ini yaitu banjir lahar dingin,
ternyata melebihi segalanya dibandingkan dengan bencana primer berupa
letusan dan awan panas.
Banjir lahar dingin Merapi selama empat bulan terakhir dirasakan
warga yang menjadi korban, dan pemerintah daerah serta pemerintah pusat
maupun pihak-pihak lain yang terkait, merupakan bencana yang melelahkan.
Air mata, harta benda, tenaga dan pikiran terkuras sepanjang hari, dan
tidak diketahui sampai kapan.
Seribu lebih rumah warga, sejumlah infrastruktur berupa jembatan,
jalan, irigasi dan ratusan hektare lahan pertanian mengalami kerusakan
akibat bencana alam tersebut. Bahkan ratusan rumah penduduk kemungkinan
tidak bisa lagi ditempati karena tertimbun tanah, pasir dan kerikil.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK)
Yogyakarta menyatakan potensi banjir lahar dingin masih akan terus
terjadi, karena baru sekitar 30 persen material erupsi Merapi yang turun
atau longsor menjadi lahar hujan.
"Material hasil erupsi Merapi yang masih berada di atas sekitar 70
persen. Ini masih akan terus menjadi ancaman selama musim hujan masih
terjadi," kata Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo.
Menurut dia, hujan dengan intensitas kurang dari 20 milimeter per
jam sudah akan mampu menghanyutkan material erupsi Merapi menjadi lahar
hujan, karena kondisi material yang sudah semakin jenuh.
Material hasil erupsi Merapi 2010 diperkirakan volumenya sekitar
140 juta meter kubik. BPPTK bahkan pernah menyebutkan diperlukan tiga
musim hujan, atau tiga tahun untuk "menghabiskan" sekitar 70 persen
material hasil erupsi yang masih berada di atas itu.
Terkait dengan ancaman banjir lahar tersebut, BPPTK telah memasang
alat pemantau pergerakan lahar hujan di 12 sungai yang berhulu di
Merapi. Namun, peralatan pemantau yang menjadi bagian dari sistem
peringatan dini itu, hanya sebagian kecil dari upaya penyelamatan yang
bisa dilakukan.
"Masyarakat harus terus waspada, terutama warga yang tinggal di
daerah hilir, karena tebing sungai di hilir biasanya sudah rendah,"
katanya.
Jarak aman sekitar 300 meter dari bibir sungai, menurut dia perlu
ditaati, bahkan jika perlu harus disesuaikan dengan kondisi di
masing-masing wilayah.
"Membangun tanggul di kanan dan kiri bibir sungai bisa menjadi
upaya jangka panjang, namun untuk keadaan darurat seperti sekarang, yang
perlu dilakukan adalah memperhatikan jarak aman," katanya.
Jangkauan terjauh material kasar hasil erupsi Merapi yang hanyut
sebagai lahar hujan terjadi di Kali Putih dan Kali Pabelan di wilayah
Kabupaten Magelang (Jawa Tengah), dengan jangkauan material halus di
kedua sungai itu telah mencapai jarak 40-50 kilometer.
Sedangkan di Kali Gendol di wilayah Kabupaten Sleman (Daerah
Istimewa Yogyakarta), jangkauan material kasar mencapai daerah pertemuan
antara Kali Gendol dengan Kali Opak, dengan material halus mencapai
sekitar Candi Prambanan.
Oleh karena itu, BPPTK Yogyakarta masih menetapkan status "waspada"
pada gunung setinggi 2.965 meter ini, dan tetap merekomendasikan kepada
masyarakat untuk tidak beraktivitas di badan sungai, serta tidak
melakukan pendakian.
Pemulihan Sampai 2014
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), dalam program pemulihan pascabencana Gunung Merapi akan
dilaksanakan sampai 2013. "Pelaksanaannya dimulai Januari 2011 hingga
2013, dan maksimal sampai 2014," kata Bupati Sleman Sri Purnomo.
Ia mengatakan pemerintah kabupaten telah memulai upaya pemulihan
melalui rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi, dan ini
memerlukan dukungan semua pihak, karena tidak mungkin dilakukan sendiri,
mengingat keterbatasan sumber daya yang ada.
Menurut dia, bantuan fasilitas kesehatan juga sangat diperlukan untuk memantapkan dan mempertahankan pelayanan kesehatan.
"Bencana erupsi Merapi telah merusak sekitar 10 gedung puskesmas
pembantu dan lima puskesmas di wilayah Kecamatan Pakem, Turi, Ngemplak,
dan Cangkringan," katanya.
Ia mengatakan berbagai bantuan yang diterima Pemkab Sleman tentu
akan semakin memotivasi masyarakat untuk menata kembali kehidupannya.
"Selain itu, bantuan tersebut juga memudahkan kami dalam
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana erupsi Merapi," katanya.
Sedangkan untuk Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menurut bupatinya,
Seno Samodro, rencana pembangunan untuk pemulihan daerah bencana
pascaerupsi Gunung Merapi, sampai sekarang belum ada kejelasan, dan
kemungkinan bakal mundur dari jadwal.
"Tahap pembangunan pemulihan daerah bencana pascaerupsi Merapi
direncanakan dikerjakan pada April 2011. Namun, anggaran untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi hingga kini belum ada," kata bupati.
Menurut dia, pihaknya sudah menanyakan kepada Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait dengan pembangunan infrastruktur
daerah bencana. Namun, BNPB justru mengatakan dana tersebut dikembalikan
ke departemen teknis, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Ia mengatakan pihaknya saat mengkonfirmasi ke Kementerian PU,
katanya belum ada dana yang masuk untuk pengerjaan infrastruktur,
sehingga tidak dapat dilakukan dengan APBN Murni 2011.
Oleh karena itu, kata dia, secara logika dana untuk pengerjaan
infrastruktur paling cepat harus menunggu APBN Perubahan pada September
2011.
Bupati menyayangkan BNPB yang selama ini selalu menjanjikan bahwa
pemerintah akan mengucurkan bantuan guna menanggulangi bencana Merapi,
termasuk di wilayah Kabupaten Boyolali.
Namun, menurut Seno, kenyataannya sampai sekarang belum ada
informasi mengenai kejelasan dana yang masuk, sehingga penanganan
pemulihan infrastruktur di daerah bencana dipastikan mundur dari
rencana.
Ia mengatakan dengan kondisi tersebut, membuat posisi dilematis
bagi pemerintah daerah, karena pihaknya sebagai ujung tombak, harus
berhadapan langsung dengan masyarakat. "Kami khawatir dianggap oleh
masyarakat pembohong, karena bantuan yang dijanjikan mundur dari
rencana. Padahal dana itu memang belum turun dari pusat," katanya.
Bupati menjelaskan, pemkab mengajukan dana untuk rehabilitasi
daerah bencana yang terdampak erupsi Merapi di Boyolali senilai Rp127
miliar, meski kerugiannya mencapai sekitar Rp300 miliar.
"Salah satunya pembangunan infrastruktur seperti 18 jembatan di
tiga kecamatan, yakni Selo, Musuk, dan Cepogo yang terputus akibat
banjir lahar dingin," katanya.
Namun, kata Seno, anehnya justru alokasi dana untuk pemulihan
bidang pendidikan melalui Kementerian Pendidikan Nasional lancar.
Rehabilitasi Sumber Daya Air
Rehabilitasi sumber daya air di kawasan Merapi di wilayah Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang rusak akibat bencana
erupsi dan banjir lahar dingin diperkirakan memerlukan dana Rp24 miliar.
"Bencana erupsi Merapi yang diikuti bencana sekunder berupa banjir
lahar dingin mengakibatkan kerusakan prasarana sumber daya air berupa
talud, bendung, dan jaringan irigasi, yang seluruhnya sebanyak 82 unit,
dengan luas areal oncoran 8.145,48 hektare," kata Kepala Dinas Sumber
Daya Air, Energi, dan Mineral Kabupaten Sleman Widi Sutikno.
Menurut dia, sementara ini diperkirakan biaya untuk perbaikan
kerusakan tersebut mencapai sekitar Rp24 miliar, termasuk untuk
perbaikan kerusakan mata air dan pipa jaringan distribusinya di sumber
air "Umbul Wadon", "Umbull Bebeng", dan lainnya.
"Biaya untuk pemulihan sendiri diperkirakan mencapai lebih dari
Rp19,5 miliar, ini belum termasuk kerusakan pascabanjir lahar dingin
besar dalam sepekan terakhir," katanya.
Ia mengatakan saat ini memang belum dapat dilakukan perbaikan karena banjir lahar dingin masih terus terjadi.
"Biaya yang cukup besar juga diperlukan terutama untuk pengkajian penyusunan desain konstruksi yang lebih aman," katanya.
Widi mengatakan kerusakan sumber daya air meliputi aliran pada
bendungan maupun jembatan yang tersumbat material vulkanik berupa batu
besar, kerikil, pasir, lumpur, batang pohon yang hanyut dan rumpun
bambu, serta intake irigasi yang tertimbun material dengan ketebalan
sekitar tiga meter lebih.
"Kerusakan terjadi pada konstruksi dam, bendung serta jembatan,
dari klasifikasi sedang sampai runtuh total, dan saluran irigasi juga
banyak yang putus serta ambrol, begitu pula sawah dan sumber mata air
yang tertimbun material vulkanik," katanya.
Ia mengatakan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam upaya
pemulihan di antaranya prasarana sumber daya air yang belum dapat
berfungsi, sehingga berpotensi terganggunya aktivitas ekonomi berbasis
air.
"Pemulihan sumber daya air itu sendiri baru bisa dilakukan setelah
musim hujan berakhir, karena saat ini masih rawan terjadi banjir lahar
dingin," katanya.
Penanganan yang akan dilakukan, kata dia di antaranya dengan
membersihkan jembatan dari sumbatan material, mengembalikan aliran
sungai yang berbelok dan berpindah, serta membuat tanggul dan sarana
maupun prasarana darurat.
Sumur Tercemar
Widi Sutikno juga mengatakan sejumlah sumur warga di kawasan Gunung
Merapi di Dusun Morangan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak,
Kabupaten Sleman, DIY, tercemar zat besi dari material vulkanik yang
terbawa aliran Sungai Gendol.
"Semula ditengarai air sumur-sumur warga tersebut tercemar
belerang, namun setelah kami lakukan penelitian bersama dengan Dinas
Kesehatan, ternyata tercemar zat besi atau (Fe)," katanya.
Menurut dia, karena positif tercemar Fe, maka pihaknya dalam waktu
dekat ini akan mencoba untuk melakukan pengurasan sumur-sumur tersebut
untuk mengurangi kadar pencemaran air sumur milik warga.
"Kami akan meminjamkan pompa air untuk menguras sumur-sumur yang
tercemar tersebut, sehingga air sumur dapat berganti dengan yang baru
dan kadar pencemaran dapat berkurang. Mudah-mudahan setelah dikuras, air
sumur warga tersebut kembali layak dikonsumsi," katanya.
Ia mengatakan pascabanjir lahar dingin besar pada 19 Maret dan 22
Maret 2011, kerusakan infrastruktur terutama tanggul sungai dan sarana
irigasi semakin parah.
"Sebenarnya kerusakan ini terjadi sudah sejak awal banjir lahar
dingin pada beberapa bulan lalu, namun dengan dua kejadian banjir lahar
dingin besar yang terakhir, kerusakan menjadi semakin parah, seperti
jembatan Kliwang yang tergerus pondasinya, maupun kerusakan di
permukiman warga," katanya.
Widi mengatakan untuk perbaikan infrastruktur tersebut masih
menunggu musim hujan berakhir sekitar pertengahan April 2011, sehingga
terhindar dari kemungkinan diterjang banjir lahar dingin lagi.
"Namun, kami tidak dapat memastikan apakah pertengahan April nanti
musim hujan benar-benar berakhir, karena tidak menutup kemunungkinan
masih akan turun hujan di kawasan Merapi, sehingga terjadi banjir lahar
dingin besar seperti kemarin," katanya.
Ia mengatakan saat ini yang menjadi prioritas adalah mengenai
keselamatan warga yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai yang
berhulu di Gunung Merapi.
"Prioritas kami saat ini adalah keselamatan warga, yakni dengan
membuat tanggul-tanggul pengamanan di aliran Sungai Opak maupun Gendol,
serta mengarahkan aliran sungai agar tetap di jalurnya, dengan membuat
`guide chanel` agar air tidak meluap ke permukiman warga," katanya.
Sedangkan bagi korban banjir lahar dingin yang rumahnya rusak parah
dan tidak bisa dihuni lagi, kata dia diupayakan untuk mendapatkan
"shelter" atau hunian sementara.
"Untuk rumah-rumah yang rusak ringan dan masih bisa dihuni, kami
bantu untuk membersihkan dan memperbaikinya dengan dana gotong-royong
atau dana sosial lainnya," katanya. (M008*E013/K004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar